Manioc Menjadi Penyelamat Dalam Perang Melawan Polusi Plastik

Senin, 05 November 2018

 

Sampah plastik semakin mencemari sungai dan memenuhi tempat pembuangan akhir. Di Jakarta, dua orang pria memiliki misi untuk menawarkan alternatif yang dapat berdampak pada lingkungan dan ekonomi, tidak hanya di Indonesia.  

Bau busuk tak tertahankan. Panas terik siang hari menyengat di tempat pembuangan akhir (TPA) di dekat kota Tangerang, Indonesia, di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kecoak-kecoak besar berlarian di area seluas 35 hektar (86,4 are) dan truk-truk baru berdatangan setiap menitnya, membawa berton-ton sampah baru. Ekskavator menumpuknya lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Di antara mereka, beberapa ratus pemulung bekerja keras di bawah teriknya matahari. Mereka mencari kantong plastik dan komponen plastik yang bisa dijual kembali.

Sugianto Tandio menggelengkan kepala melihat sampah plastik yang begitu banyak. “Setiap hari, sekitar 1.500 ton sampah datang ke sini dan 15 sampai 20 persennya adalah plastik,” kata insinyur ini.

Tapi plastik konvensional membutuhkan waktu sekitar 500 hingga 1.000 tahun untuk terurai. Sampah plastik yang menumpuk di Tangerang akan tetap menjadi masalah lingkungan bagi generasi mendatang.

Plastik dalam ikan

“Bahkan saat ini, sepertiga ikan di lautan mengandung mikroplastik. Bayangkan saja: setiap kali Anda makan makanan laut, Anda seperti memiliki tiga ikan di depan Anda dan Anda harus memutuskan, ikan mana yang ingin Anda makan dan mana yang harus Anda hindari.” Menurut Tommy Tjiptadjaja, ini bukanlah masalah yang bisa kita serahkan kepada anak-anak kita untuk menyelesaikannya. “Ini benar-benar tergantung pada kita. Generasi kita adalah generasi yang harus mengambil tindakan.”

warga Indonesia mengumpulkan sampah di Tangerang karena masalah lingkungan hidup di negara ini akan berdampak pada banyak generasi

Bersama Tandio, ekonom yang mengenyam pendidikan di Chicago ini mendirikan Greenhope, sebuah perusahaan yang mengembangkan alternatif pengganti plastik konvensional. Salah satu produk mereka disebut “Ecoplas.” Bentuknya seperti plastik, namun tidak membutuhkan waktu 500 tahun untuk terurai. “Ini adalah polimer biodegradable yang terbuat dari tapioka,” jelas Tandio.

Dia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan produk ini dan memegang banyak paten yang terkait dengannya. Dia dengan bangga mempersembahkan tas plastik, alat makan plastik dan bahkan tas yang dikembangkan khusus untuk Amerika Serikat. Ini dimaksudkan untuk menampung kotoran anjing Anda. Semuanya dapat terurai secara hayati.

Bersama-sama, kedua pengusaha ini memenangkan “Social Entrepreneur Award” dari Yayasan Schwab pada tahun 2013, yang membawa pengakuan internasional atas karya mereka. Tapioka terbuat dari akar ubi kayu yang dikeringkan, yang juga dikenal sebagai singkong. Tanaman ini sangat populer di banyak negara tropis. Nigeria, Thailand, Brasil, Indonesia dan Ghana adalah beberapa di antara produsen terbesar. Tandio yakin bahwa penggunaan tapioka sebagai pengganti plastik juga dapat menjadi peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan bagi banyak petani kecil.

MEMBAYAR DENGAN PLASTIK MEMILIKI ARTI BARU DI INDONESIA

Larangan penggunaan kantong plastik

Dengan semakin banyaknya negara yang melarang penggunaan kantong plastik atau mengenakan biaya untuk penggunaannya, minat terhadap alternatif lain telah tumbuh secara signifikan. Tjiptadjaja dan Tandio diundang ke berbagai konferensi dan diskusi di seluruh dunia. Salah satu dari mereka baru saja menghadiri Our Ocean Conference di Bali, dan yang lainnya bertemu untuk berdiskusi dengan pemerintah Malaysia. Kenya dan beberapa negara Amerika Latin juga telah menyuarakan ketertarikan mereka.

Indonesia ingin melarang penggunaan kantong plastik yang terbuat dari minyak selambat-lambatnya tahun 2020. Bahkan saat ini, alternatif yang mudah terurai dari Greehope telah tersedia di banyak supermarket dan toko di Indonesia. “Ecoplas - Plastik yang dapat terurai dari singkong” tercetak di kantong-kantong tersebut, yang sekilas hampir tidak bisa dibedakan dengan kantong plastik konvensional. Greenhope telah memiliki 50 karyawan dan semuanya mengarah pada pertumbuhan yang berkelanjutan.

Namun, biaya produksinya relatif mahal. Biaya produksi kantong plastik biodegradable hampir dua kali lipat lebih mahal daripada kantong plastik konvensional. Akibatnya, konsumen berpikir dua kali sebelum membayar lebih untuk kantong plastik.

Alternatif yang murah

Tjiptadjaja dan Tandio berupaya mengurangi biaya sebanyak mungkin dan memperluas departemen penelitian dan pengembangan kecil mereka. Salah satu solusi mereka adalah bahan tambahan yang mereka sebut “OXIUM”. Menambahkannya ke dalam plastik konvensional memiliki efek bahwa bahan tersebut akan terurai hanya dalam waktu 2 tahun.

Plastik ini masih terbuat dari minyak, bukan bahan baku organik yang dapat diperbaharui, namun dapat terurai secara hayati dan harga plastik yang mengandung OXIUM hanya sekitar 2 hingga 5 persen lebih tinggi daripada plastik konvensional. Ini bukan solusi yang ideal tetapi merupakan sebuah perbaikan. Khususnya di negara-negara miskin, penggunaan OXIUM bisa menjadi alternatif yang murah, kata para pengusaha. Greenhope sudah menjualnya ke Afrika Selatan, Malaysia dan negara-negara lain.

Stabilitas dan keamanan

Untuk tempat pembuangan sampah seperti yang ada di Tangerang, Greenhope menawarkan terpal plastik besar yang dibuat dengan OXIUM. Terpal ini dapat membendung bau tak sedap yang dapat dirasakan oleh masyarakat di kota-kota dan desa-desa sekitar dan sekaligus menstabilkan tumpukan sampah yang terus bertambah. Hal ini penting karena tumpukan sampah yang tinggi terkadang runtuh.

Namun sejauh ini, Greenhope belum mampu menjual lebih dari dua terpal per tahun kepada TPA, perusahaan yang mengelola TPA. Tandio menggelengkan kepala dan melihat gunung sampah yang tinggi dan bergoyang-goyang. Sampah-sampah baru itu seharusnya ditutupi dengan terpal setiap hari, katanya, tetapi TPA tidak mampu mengeluarkan uang sebanyak itu.