Ecoplas merupakan bioplastik mudah terurai secara alami yang terbuat dari pati singkong.
Ecoplas merupakan plastik yang hanya membutuhkan mikroba tanah dalam proses penguraiannya. Semakin banyak kandungan mikroorganisme dalam tanah, maka Ecoplas akan semakin cepat terurai.
Harga Ecoplas walau relatif lebih tinggi dari plastik biasa tetap kompetitif, karena harganya bisa disesuaikan dengan spesifikasi yang diinginkan. Dan harga Ecoplas dijamin paling murah dibanding bioplastik-bioplastik lainnya.
Singkong dipasok dari koperasi petani-petani singkong binaan di Indonesia. Hal ini membuat Ecoplas meraih sertifikat Fair For Life yang berkomitmen dalam tiga aspek, yaitu social impact, fair trade, dan environment impact. Ecoplas memberikan dampak sosial yang sangat nyata terhadap kehidupan petani singkong. Setiap proses produksi, mulai dari pemasokan bahan baku hingga ke produk sampai ke tangan pelanggan dilakukan dengan prinsip adil (bahan baku singkong dari petani dihargai secara adil, sesuai dengan kebutuhan petani). Setiap Ecoplas yang terjual akan memberikan dampak yang positif bukan hanya lingkungan tetapi juga terhadap kesejahteraan petani singkong Indonesia.
Ecoplas tidak untuk dimakan, karena pati Ecoplas sudah melalui proses penguatan sewaktu produksi dan di cangkok dengan bahan-bahan penting lainnya. Ecoplas menggabungkan kelebihan bahan pati alami yang mudah terurai secara alami dengan sifat kekuatan dari plastik. Sehingga, solusi yang diberikan tidak hanya sekedar bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memenuhi karakteristik dan fungsional yang diinginkan (baik sebagai kantong, bahan pengemas, polybag tanam, dan lain-lain).
Naturloop adalah resin bioplastik kompos yang terbuat dari pati nabati. Tanaman yang digunakan tidak dimaksudkan untuk konsumsi sehari-hari, sehingga memastikan proses kami tidak mengganggu produksi pangan. Pati bersumber langsung dari koperasi petani lokal yang disertifikasi oleh Fair For Life, yang bermitra dengan kami.
Naturloop dapat dibuat kompos di rumah dan industri, dan akan terurai melalui aktivitas mikroba, sehingga menghasilkan produksi gas CO2 dan biomassa. Metode pengomposan di rumah memaparkan bioplastik Naturloop ke lingkungan yang tidak diatur (termasuk suhu, kelembapan, dll), yang dapat menyebabkan variasi dalam durasi pengomposan. sedangkan metode industri memaparkan produk pada lingkungan yang stabil dan optimal untuk pengomposan.
Sebagaimana tercantum dalam laporan pengujian ISO 14855 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (PPBBI), pada lingkungan pengomposan rumah (25-30ºC) Naturloop akan terurai sempurna dalam waktu 24 minggu, sedangkan menurut laporan pengujian EN 13432:2000 dilakukan oleh Din Certco, di lingkungan pengomposan industri (~60ºC) Naturloop akan terurai sempurna dalam waktu 12 minggu.
Naturloop tidak untuk dikonsumsi, sehingga tidak boleh dimakan dan diminum. Fungsi kemasan adalah untuk melindungi barang yang dikemas, sehingga tidak disarankan memakan atau meminum kemasan Naturloop.
Lingkungan darat (seperti tanah dan TPA) dan perairan (sungai, danau, laut) mengandung sejumlah besar mikroba pengurai. Dengan demikian, memungkinkan Naturloop terurai secara alami oleh mikroba ini di berbagai lingkungan termasuk sungai, danau, dan laut.
Hasil uji biodegradasi Naturloop pada lingkungan perairan terbuka adalah sebagai berikut:
a) sungai 4 minggu
b) danau 4 minggu
c) laut 6 minggu
Naturloop dirancang agar tidak larut dalam air dan bersifat hidrofobik.
Naturloop telah memperoleh beberapa sertifikat hasil tes, antara lain:
• Konten Biobased berdasarkan metode ASTM D6866 dari Din Certco, Jerman
• Rumah Kompos (ISO 20200, EN 13432, ISO 14855) dari Din Certco, Jerman, dan dari PPBBI, Bogor
• ASTM D 6400
• Kompos Industri (ISO 20200, EN 13432) dari Din Certco, Jerman
• Pengujian di lingkungan terbuka: sungai, danau, laut
• Tes penguburan internal
Oxium merupakan bahan aditif yang ditambahkan ke dalam material plastik konvensional untuk mempercepat proses oksidasi dan biodegradasi plastik (oxidation-biodegradation process). Secara alamiah, plastik konvensional membutuhkan waktu ratusan tahun untuk bisa terurai. Sedang Oxium membuat proses biodegradasi pada plastik konvensional menjadi lebih cepat, hanya dalam kurun waktu 2-5 tahun (tergantung desain).
Oxium berbentuk biji plastik seperti master batch, yang umumnya digunakan dengan dosis tertentu dan ditambahkan ke dalam biji plastik konvensional.
Pada dasarnya, plastik merupakan rantai hidrokarbon yang telah melalui proses polimerasi yang sangat panjang untuk bisa memiliki properti plastik yang diinginkan, yaitu, kuat, fleksibel, anti air, dan lain sebagainya. Panjang rantai karbon tersebut dapat mencapai > 7 juta, berbeda dengan nasi dan gula yang hanya memiliki < 100,000 rantai karbon. Panjang rantai karbon inilah yang membuat plastik memerlukan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai secara fisik (fragmentasi) dan secara rantai molekul (biodegradasi) yang kemudian dapat diurai oleh mikroba (proses biodegradasi).
Oxium mampu mempercepat proses pemotongan rantai molekul plastik melalui bantuan oksigen, sinar UV, panas dan tekanan-tekanan lain yang tersedia secara alami di alam bebas melalui proses oksidasi. Proses oksidasi tersebut memungkinkan mikroba untuk mengonsumsi/mengurai plastik, karena itulah teknologi Oxium dikenal secara umum sebagai teknologi biodegradable (dua tahapan biodegradasi melalui proses oksidasi dan biodegradasi1).
Oxium sangat dapat di Recycle, selama dikoleksi dan di Recycle sebelum terbiodegradasi. Masa biodegradasi Oxium rata2 2-5 tahun, jadi sangat banyak waktu untuk para Recyler mengkoleksi plastik2 untuk di recycle (minimal ada 1 tahun). Kalau sudah terlalu lama plastik2 tersebut haruslah direlakan untuk terbiodegradasi agar tidak terjadi penumpukan dan membahayakan seperti di TPA Leuwigajah. Karena dosis Oxium yang kecil, jika sudah direcycle produk lanjutannya cenderung stabil. Roediger report maupun TCKT report di Jerman sudah test dan analisa secara mendetil melt flow, kestabilan properti2 recycled biodegradable plastik dan didapati semuanya stabil tidak ada dampak. Di Indonesia, beberapa converter plastik juga sudah mencoba recycle plastik Oxium (bahkan beberapa kali) dan tidak dijumpai penurunan kualitas sama sekali.
Kekhawatiran bahwa Oxium menyebabkan plastik tenggelam juga sudah terbukti tidak benar, karena penambahan CaCo3 lah yang menyebabkan plastik biodegradable tenggelam, bukan additivenya.
Oxium memiliki berbagai kelebihan seperti:
Oxium merupakan 100% buatan Indonesia karya anak bangsa. Teknologi tersebut diteliti dan dikembangkan oleh Inovator Indonesia asal Jambi, Sugianto Tandio. Bermula dari kegelisahannya terhadap permasalahan sampah plastik yang tak kunjung usai, beliau meneliti dan mengembangkan teknologi plastik ramah lingkungan selama 10 tahun hingga akhirnya pada tahun 2010, plastik dengan teknologi Oxium telah banyak digunakan di hampir 95% supermarket di Indonesia.
Pentingnya klaim yang benar, teruji, dan kredibel membuat Sugianto Tandio merasa perlu untuk mematenkan teknologi Oxium di Amerika dan Singapura. Karena itu Oxium adalah “100% Indonesian Technology with US Patent”. Untuk itu kita perlu bangga dengan teknologi karya anak bangsa ini.
Oxium sudah terbukti lulus uji berbagai macam test berstandar internasional, antara lain:
Adapun test-test tersebut diatas kesemuanya dilakukan oleh pihak ketiga, seperti BPPT (Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Republik Indonesia), SIRIM Malaysia, BPOM, Universitas terkemuka Indonesia seperti ITB, dsb.
Teknologi biodegradable sendiri sudah banyak dikenal dan terbukti efektif di berbagai negara seperti Arab Saudi, UAE, Pakistan, dsb. Beberapa referensi pihak ketiga yang netral juga sudah mendeskripsikan teknologi tsb. Berbagai penelitian independen mengenai teknologi biodegradable juga pernah dilakukan oleh berbagai pihak seperti berikut:
Tak hanya lolos uji berbagai standar pengujian, teknologi Oxium juga mendapat berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri, seperti:
Semua hal-hal diatas memastikan bahwa biodegradable telah melalui berbagai uji, sertifikasi, kredibilitas, pengakuan dunia internasional, sehingga dampak dan kontribusi positif teknologi ini – yang jika sudah dimengerti secara benar (baik dari sisi cara bekerja, aplikasi, lingkungan pendukung yang dibutuhkan) – tidak perlu diragukan lagi.
Masih ada kebingungan / misinformasi / informasi yang tidak lengkap atau keliru
banyak orang awam (tanpa latar belakang yang mumpuni/kredibel seperti kimia, engineering, plastik, dan lain sebagainya) mengira biodegradable hanya menyebabkan plastik terfragmentasi. Faktanya mata awam memang sulit melihat proses biodegradasi tersebut. Tidak mudah untuk membedakan potongan plastik yang muncul dari proses fragmentasi atau plastik yang mengalami biodegradasi dimakan mikroba dan sedang terurai, apalagi menimbang berat molekul tanpa alat-alat laboratorium yang mendukung. Maka bisa dikatakan bahwa pernyataan tersebut tidak benar dan menimbulkan misinformasi.
Konteks lokal negara masing-masing yang berbeda
Menanggapi tantangan permasalahan sampah plastik, kita tidak bisa dan tidak boleh bertindak secara simplistik dengan meniru solusi negara-negara lainya tanpa mempertimbangkan konteks masing-masing negara secara mendalam (copy & paste). Setiap negara memiliki konteks masing-masing seperti, luas wilayah, tingkat GDP/ekonomi per kapita, iklim, infrastruktur, sumber daya alam yang tersedia, situasi pembuangan akhir sampahnya (apakah dibakar dengan incinerator atau dibuang ke TPA/landfill), dst. Kesemuanya akan menentukan solusi terbaik untuk masing-masing negara, menyeimbangkan kelestarian alam serta kesejahteraan ekonomi masyarakat dan ketahanan negara.
Di Belanda misalnya, (dan kebanyakan negara di Eropa) dengan GDP per capita >$50,000 dengan luas wilayah hanya > 45,000 km2, infrastruktur yang sudah sangat baik, tentunya masuk akal memilih daur ulang dan incinerator sebagai solusi utama. Mendaur ulang sebanyak mungkin material dan membakar sisa sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang.
Amerika Serikat sebagai contoh lain, meskipun negara kaya dan luas wilayahnya hampir mencapai 10,000,000 km2, mereka pun memakai TPA sebagai solusi utama pembuangan sampahnya, dan cenderung memilih green plastic dari jagung karena ketersediaan jagung yang luar biasa banyak di AS.
Sedang di Indonesia, dengan luas wilayah 1,900,000 km2, 17,000 pulau, infrastuktur yang masih buruk, dan GDP per capita sekitar $3,500, solusi penanganan plastik apa yang tepat untuk rakyat Indonesia? Sejatinya Indonesia membutuhkan Reduce, Reuse, Recycle, juga Return to Earth (biodegradable) karena begitu banyak disposable packaging, shopping bags, dlsb., yang sangat murah, tipis, dan sangat sulit dikoleksi kembali setelah didistribusikan ke 17,000 pulau. Bisa jadi upaya dan dana yang dibutuhkan untuk melakukan hal tersebut lebih besar daripada yang bisa didapat dari material-material yang coba dikoleksi. Diperlukan full Life Cycle Analysis untuk menentukan pilihan-pilihan intervensi yang efisien dan efektif.
Tingkat ekonomi juga sangat menentukan. Sebagai ilustrasi, makan di restoran cepat saji di Amerika Serikat dengan harga makanan per porsinya $8 dan harga green packaging sebesar %0,50, maka masih masuk akal. Coba dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia, dengan nasi goreng yang harganya hanya sekitar $0,70, berapa harga kemasan yang biasa dipakai oleh kebanyakan rakyat Indonesia?
Keadaan iklim juga merupakan faktor penentu cocok tidaknya suatu teknologi. Teknologi biodegradable misalnya, dengan trigger untuk oksidasinya berdasarkan oksigen, panas matahari, UV, kelembaban, banyaknya mikroba, dst, sangatlah cocok untuk iklim negara-negara di Selatan garis khatulistiwa. Realita ini cukup berbeda dengan iklim negara-negara Eropa maupun empat musim lainnya.
Karena itu, dengan mempertimbangkan semua faktor diatas, maka seyogyanya semua pelaku usaha dan pemangku kepentingan bekerja sama: less ego more eco. Reduce saja tidak akan cukup, Reuse ataupun Recycle saja juga tidak cukup. Return to Earth saja juga tidak cukup. Renewal (dari Waste to Energy) juga tidak cukup, karena biaya mesin sangat mahal, belum lagi sampah dan iklim kita yang lembab sehingga energi yang dibutuhkan untuk membakar sampah tersebut sangatlah besar (sehingga mahal).
Semua harus bekerja sama di dalam suatu roadmap / master plan. Dan jangan copy & paste saja dari Negara-negara lain apalagi yang konteksnya sangat berbeda. Bisa jadi nantinya Indonesia lagi-lagi hanya menjadi pasar saja, bukan tuan rumah di negeri sendiri.
Kompetisi antar teknologi
Di Eropa kompetisi antara bioplastik (bio-based plastics) melawan biodegradable menjadi semakin sengit. Tidak jarang terjadi saling menjelekkan dan mendiskreditkan satu sama lain. Seringkali ketika membaca laporan negatif tentang teknologi biodegradable, laporan tersebut hampir pasti dibuat oleh institusi, produsen atau asosiasi, bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lain yang beragenda untuk mendorong bioplastik, demikian juga sebaliknya.
Tidak jarang juga terjadi misinformasi seperti, teknologi biodegradable dianggap tidak biodegradable karena sewaktu diuji menggunakan ASTM 6400 (untuk compostable plastic) tidak lulus. Jika ditelaah lebih seksama, tentu saja hasilnya tidak lulus karena pengujian plastik berteknologi biodegradable harusnya menggunakan pengujian ASTM 6954. Demikian sebaliknya dengan pengujian pada bioplastic compostable yang jika diuji menggunakan standar pengujian ASTM 6954 hasilnya juga pasti tidak akan lulus.
Informasi mengenai klaim yang diterima oleh masyarakat juga banyak yang tidak lengkap. Banyak klaim yang tidak disosialisasikan dengan semestinya sehingga seringkali membuat orang awam mengira compostable ASTM 6400 adalah yang terbaik, padahal untuk plastik compostable dibutuhkan industrial composter yang besar, yang dapat dipastikan tidak ada di Indonesia. Tanpa industrial composter, bioplastik tersebut tidak akan terurai, melainkan justru menjadi kontaminan karena tidak bisa didaur ulang bersama plastik lainnya (sedangkan plastik dengan teknologi Biodegradable bisa).
Sikap saling menjelekkan dan menganggap teknologi masing-masing paling unggul inilah yang counter productive dan menambah kebingungan pada masyarakat. Padahal setiap teknologi memiliki kekuatan dan keterbatasan masing-masing, tergantung siapa yang menggunakan, memakai, dan dalam konteks apa.
Hal-hal tersebut diatas lah yang menyebabkan munculnya kebingungan-kebingungan mengenai teknologi biodegradable dan bioplastik lain secara umum.
Regulasi sayangnya terkadang dipakai menjadi senjata untuk ekspansi bisnis pelaku-pelaku green plastics. Bahwa yang perlu disadari oleh semua pihak sesungguhnya adalah plastik konvensional yang merupakan musuh bersama kita setelah ia berubah menjadi sampah. Penumpukan, tidak bisa terurai, polusi, terfragmentasi menjadi mikroplastik dan mencemari lingkungan. Ini yang harus diperangi. Pemerintah baiknya memvalidasi pilihan2 teknologi yang ada, pastikan sesuai klaim, lalu biarkan mereka berkompetisi di pasar, agar efisien dan tidak membebani rakyat. Jika Pemerintah memilih salah satu teknologi tertentu, akan terkesan sekali bias dan bisa dianggap conflict of interest. Teknologi tersebut juga cenderung bisa mahal (karena menjadi monopoli) dan membebani rakyat. Harusnya pemerintah pilih beberapa pilihan teknologi yang sudah teruji, terbukti, dan biarkan berkompetisi secara sehat di pasar.
Di dunia ini, setidaknya UAE, Arab Saudi, Pakistan, Yemen, memandatory kan pemakaian plastik dengan teknologi biodegradeable. Ini sangat bisa dipahami karena harga yang kompetitif, industri petrokimia yang besar, dan juga iklim yang panas dan UV terik panjang setiap tahunnya, menjadikan negara2 tersebut ideal untuk teknologi biodegradable. Eropa mempunyai kecenderungan Recycle dan Waste to Energy / incinerator, karena negara2 mereka kecil2 dengan system collection yang sangat baik. Amerika Serikat dengan landfillnya dan teknologi PLA (bioplastik dari jagung) yang dijagokan. Negara-negara tetangga di Asia Tenggara pada umumnya terbuka dengan berbagai teknologi green plastik, baik biodegradeable maupun bioplastik. Indonesia seyogyanya mendorong dan mengembangkan teknologi2 lokal milik anak bangsa, yang sudah ada adalah beberapa type biodegradable maupun bioplastik2 dari singkong. Ini semua harus didorong karena sesuai dengan iklim, keadaan ekonomi, keadaan infrastruktur Indonesia, dst. Yang pasti jangan hanya copy paste / mengikuti, misalnya dari Eropa. Di jaman sekarang, kita harus berdaulat sendiri. Akhir-akhir ini Eropa pun sudah menolak kelapa sawit kita sebagai standar mereka, apakah kita lantas mau ikuti Eropa dengan menolak kelapa sawit kita sendiri?
Oxium sangat dapat di Recycle, selama dikoleksi dan di Recycle sebelum terurai secara alami. Masa biodegradasi Oxium rata-rata 2-5 tahun, jadi sangat banyak waktu untuk para Recyler mengkoleksi plastik2 untuk di recycle (minimal ada 1 tahun). Kalau sudah terlalu lama plastik-plastik tersebut haruslah terurai secara alami agar tidak terjadi penumpukan dan membahayakan seperti di TPA Leuwigajah. Karena dosis Oxium yang kecil, jika sudah direcycle produk lanjutannya cenderung stabil. Roediger report maupun TCKT report di Jerman sudah test dan analisa secara mendetil melt flow, kestabilan properti2 recycled biodegradable plastik dan didapati semuanya stabil tidak ada dampak. Di Indonesia, beberapa converter plastik juga sudah mencoba recycle plastik Oxium (bahkan beberapa kali) dan tidak dijumpai penurunan kualitas sama sekali.
Kekhawatiran bahwa Oxium menyebabkan plastik tenggelam juga terbukti tidak benar, karena penambahan CaCo3-lah yang menyebabkan plastik biodegradable tenggelam, bukan bahan tambahannya.