Jakarta, 8 Januari 2018 - Greenhope sebagai pioner produsen teknologi ramah lingkungan mudah terurai buatan 100% putra Indonesia yang sudah diuji secara internasional dan sudah dipatenkan baik di Amerika maupun Singapura, dengan dua brandnya, Ecoplas (plastik yang terbuat dari singkong) dan Oxium (aditif pengurai plastik konvensional), sangat memahami betapa regulasi-regulasi mengenai pelarangan penggunaan plastik kini cukup membuat resah berbagai kalangan. Industri saat ini kalang kabut menentukan langkah apa yang seharusnya dilakukan, masyarakat luas juga bingung menentukan alternatif pengganti plastik yang bisa digunakan dan tersedia di pasaran. Industri plastik ramah lingkungan pun tak luput dibuat bingung dengan berbagai pelarangan yang muncul di berbagai daerah dan tidak selaras, karena setiap daerah mendadak menjadi “ahli plastik”, “ahli teknologi”, “ahli uji”, dlsb. Dan mendefinisikan standar ramah lingkungan masing-masing. Bisa dibayangkan dampaknya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, terhadap usaha-usaha, roda perekonomian, standar operating procedures (SOP2) yang lintas daerah, bisa macet semua.
Menanggapi hal tersebut, CEO Greenhope (PT Harapan Interaksi Swadaya) Bapak Tommy Tjiptadjaja, menyatakan bahwa sesungguhnya pihaknya turut mengapresiasi langkah-langkah yang diambil oleh berbagai pihak dalam menanggulangi krisis sampah plastik saat ini karena sangat selaras dengan misi Greenhope untuk membuat produksi dan konsumsi masyarakat lebih berkelanjutan (United Nation Sustainable Development Goal No 12). Beliau juga sangat berterima kasih terhadap berbagai pihak yang sudah konsisten bermigrasi dari plastik konvensional ke plastik ramah lingkungan, terutama Ecoplas dan Oxium. Memang dinamika dunia plastik saat ini sedang sangat bergejolak, sedang transisi dari plastik konvensional ke berbagai wujud Reduce, Reuse, Recycle, dan Return to Earth (menangani end of life nya sampah tersebut). Setiap “R” itu penting perannya agar dampaknya riil, significant, bersatu padu. Maka tidak heran bila hal tersebut menimbulkan kebingungan di berbagai kalangan, tak hanya industri secara umum, masyarakat awam, bahkan industri plastik ramah lingkungan itu sendiri.
Namun begitu beliau percaya bahwa pengguna teknologi Ecoplas dan Oxium sesungguhnya sudah berada di jalur yang benar dan tepat. Ke depannya teknologi ini akan menjadi solusi yang sangat relevan dan berkelanjutan dengan dilandasi berbagai hal berikut:
Perpres 83 tahun 2018 yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo. Beliau membentuk tim yang dikoordinasi dan diketuai oleh Menteri Kemenko Maritim dan ketua harian Menteri KLHK, memberi mandat agar segera menyelesaikan permasalahan sampah plastik yang masuk ke laut. Tim tersebut membawahi inisiatif dari 16 kementerian dengan salah satu fokusnya yaitu peningkatan industri degradable dan daur ulang. Pemerintah dimandatkan menaikkan dan mendukung industri tersebut baik dari hulu maupun hilir. Jadi industri-industri tersebut harus didorong lebih lagi pertumbuhannya baik di tingkat teknologi maupun di tingkat barang jadi (finished goods).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sendiri sesungguhnya sudah mengesahkan standar SNI Ekolabel Tipe 1 7188.7:2016 dan Ekolabel Tipe 2 Swadeklarasi untuk Ecoplas dan Oxium, melalui proses yang sangat panjang dan relevan dengan melibatkan berbagai pihak yang kredibel seperti LIPI, doktor2 pemegang paten biodegradable lulusan Jepang maupun yang sekolah beasiswa di Jepang, juga berbagai pihak independen. Secara menyeluruh, masing-masing pihak sudah mereview kedua teknologi tersebut dengan standar-standar internasional yang relevan dan menyatakan bahwa Ecoplas dan Oxium telah lolos uji.
Teknologi2 yang sudah lolos uji dalam negeri tersebut seperti Ecoplas, Oxium, dan juga ada teknologi2 lain juga yang sudah lolos, masing-masing sudah lulus berbagai uji teknis standar internasional yang intensif, menyeluruh, seperti ASTM 6954, ASTM 6866, ASTM 5208, ASTM G21, uji migrasi standar BPOM, FDA, Jepang, dlsb. lainnya. Jadi semua tes2 ini sangat serius sifatnya, teruji dan terbukti.
“Menurut pandangan kami, kami percaya nanti akan ada sinkronisasi kebijakan antara daerah dengan pusat. Karena kebijakan-kebijakan yang saat ini terbit memiliki definisi ramah lingkungan yang berbeda satu sama lain dan tidak holistik. Penterjemahan definisi ramah lingkungan yang holistik seharusnya melihat berbagai aspek pendukung, seperti life cycle analysis, kemudian konsumsi energi, bahkan aspek mudah terurainya pun juga perlu ditinjau. Mudah terurai pun harus dijui dengan tes dan alat yang tepat dengan standar pengujian internasional yang tepat pula, bukan hanya uji di jalanan oleh awam saja. Analisa mikroplastik hanya bisa dilakukan dengan standar uji dan alat yang benar. Kami mengajak agar bersama-sama menjadi lebih hijau tetapi jangan overreact”, begitu beliau menjelaskan.
“Untuk itu teman-teman sudah ada di jalur yang benar, intensi yang benar, dengan landasan hukum yang benar, sehingga kalau ada pihak-pihak yang masih bingung bisa dijelaskan dengan keterangan-keterangan tersebut. Mungkin di jangka pendek ini masih ada kebingungan, tetapi kita yakin pada ujungnya akal sehat, prinsip kehati2an, standar Negara Kesatuan agar roda perekonomian lintas daerah jalan terus, akan menang. Kita semua harus meningkatkan utamanya penanganan sampah lebih baik lagi, perilaku masyarakat harus ditingkatkan, pemakaian plastik perlu dikurangi (Reduce), botol2 bisa pakai ulang (Reuse), daur ulang ditingkatkan (Recycle), dan pemakaian plastik harus lebih mudah terurai (Return to Earth). Jika semuanya dilakukan bersatu padu dan jangan tumpang tindih, kiranya kita akan bersama mencapai Indonesia yang lebih hijau tetapi juga sejahtera”, tutupnya.